“Dan (ingatlah), ketika kami belah laut untukmu, lalu kami
selamatkan kamu dan kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang
kamu sendiri menyaksikan (QS 2:50).Dan kami memungkinkan Bani Israil melintasi
laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, Karena hendak
menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu Telah hampir
tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah)” (QS 10:90).Dan Sesungguhnya Telah kami wahyukan kepada
Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, Maka
buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu[933], kamu tak usah khawatir
akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”. (QS 20:77)Maka Fir’aun
dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan
mereka. (QS 20:78)Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan
tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti
gunung yang besar.” (QS 26:63)
Anda mungkin masih ingat dengan
kisah Nabi Musa yang bersama kaumnya diperintahkan oleh Allah untuk
meninggalkan Mesir. Ketika telah sampai di tepi Laut Merah, Allah memerintahkan
Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya hingga laut luas yang berada di hadapan
mereka terbelah membentuk jalan dengan dua dinding air yang tinggi. Pernahkah
anda membayangkan betapa dahsyatnya kejadian tersebut?
Tongkat Nabi Musa adalah sebuah
tongkat yang biasa dipakai oleh manusia di zamannya dan juga di zaman kita
sekarang. Bahkan menurut Nabi Musa sendiri ketika ditanya Allah, tongkat
itu hanya untuk membantu ia berjalan dan mengembalakan binatang ternaknya.
Pertanyaannya ialah, mengapa tongkat tersebut tiba-tiba bisa menjadi ular besar
yang siap menelan ular-ular hipnotisnya para tukang sihir dan setelah itu bisa
kembali menjadi tongkat biasa? (QS. Thaha : 17 – 21)
Yang lebih dahsyat lagi,
tongkat Musa dapat mengeluarkan 12 mata air setelah dipukulkan ke sebuah batu
besar (QS. Al-Baqarah : 60 dan Al-A’raf : 160). Apakah itu bukan peristiwa yang
sangat luar biasa hanya dengan alat dan sarana yang biasa-biasa saja? Kenapa di
tangan kita tongkat seperti itu tidak melahirkan sesuatu yang melebihi
fungsinya? Ada yang lebih sangat dahsyat lagi dari itu, yakni ketika Musa dan
pengikutnya sedang berhadap-hadapan dengan Fir’aun dan pasukannya di pinggir
laut merah. Pengikut Musa meyakini bahwa mereka, Fir’aun dan pasukannya akan
berhasil menangkap mereka, karena secara nyata dan kasat mata di hadapan mereka
laut merah sedangkan mereka tidak memiliki perahu atau kapal untuk melarikan
diri dari kejaran Fir’aun tersebut. Namun, Nabi Musa berkeyakinan dan
berpendapat lain sambil berkata : "Tidak mungkin… Sesungguhnya
bersama saya ada Allah, Dia pasti menunjukkan jalan keluarnya" (QS
As-Syu’ara’ : 61 -62).
Endingnya ternyata persis
seperti keyakinan dan pandangan Nabi Musa, bukan seperti keyakinan dan pendapat
pengikutnya. Lagi-lagi, tongkat Nabi Musa yang sederhana itu bisa membelah laut
merah, sehingga mereka bisa melarikan diri di tengah lautan tanpa perlu adanya
perahu layar atau kapal. Yang lebih mengagumkan lagi, Musa dan pengikutnya
lolos menyeberangi laut merah, sementara Fir’aun dan pasukannya tenggelam dan
tamatlah riwayat mereka. (QS. As-Syu’ara’ : 63 – 66).
Kalau kita cermati dengan baik,
kesulitan, hambatan, persoalan, tantangan dan bahkan resiko yang dihadapi oleh
saudara kita di awal tulisan ini (dan siapa saja yang ingin kembali kepada
sistem ekonomi Allah dan Rasul-Nya, dan juga sistem-sitem Islam lainnya), mirip
dengan apa yang dihadapi oleh manusia di zaman Nabi Musa. Demikian juga,
karakter manusia, baik di zaman Nabi Musa ataupuin di zaman sekarang, dalam
menerima atau mensikapi ajaran atau wahyu Allah terbagi kepada tiga golongan.
Pertama, yang meyakini dan memahaminya (wahyu Allah) seperti Nabi Musa. Kedua,
yang ragu-ragu seperti pengikut Nabi Musa. Ketiga yang mengingkari dan
memeranginya, seperti Fir’aun dan pasukannya.
Dalam fakta dan akhir episode
kehidupannya, ketiga golongan tersebut juga berbeda-beda. Musa, dengan tongkat
yang sederhana dan biasa-biasa saja, dengan kehendak Allah jua, mampu
melahirkan mukjizat-mukjizat yang tidak akan mampu dilahirkan oleh teknologi
secanggih apapun. Pengikutnya yang ragu-ragu akan kebesaran dan kekuasaan
Allah, di antaranya disebabkan virus materialisame yang sudah menggerogoti otak
dan jantung mereka, tetap saja menjadi bangsa budak, tersesat di padang Tiin
dan bahkan kembali menjadi penyembah anak sapi, padahal baru saja melihat
mukjizat tongkat Nabi Musa saat membelah laut merah. Adapun Fir’au dan para
bala tentaranya Allah tenggelamkan di laut merah dan bahkan bangkainya Allah
selamatkan sampai akhir zaman agar menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia
yang lahir setelahnya (QS. Yunus : 90 – 92)
Melalui misteri tongkat Nabi
Musa tersebut dapat kita simpulkan, sesulit apapun masalah yang kita hadapi,
sebesar apapun tantangan dan hambatan serta perlawanan terhadap upaya kita
kembali kepada Islam, kepada sistem Allah dan Rasul-Nya, tidak akan mampu
menggagalkan kita, selama kita mampu membebaskan diri, fikiran, hati dan
perasaan kita dari belenggu mentalitas materialistik yang sudah menggurita.
Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk berhasil mencari muka Allah
sehingga Dia sudi bersama kita (ma’iyyatullah).
Orang-orang yang sama tingkat
keyakinan mereka dengan Nabi Musa terhadap Kekuasaan dan Kebesaran Allah dan
sama tingkat pemahaman mereka terhadap Dzat Allah, mereka bukan hanya mampu
menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan tersebut dengan tegar dan kokoh,
akan tetapi, di tangan mereka juga akan lahir mukjizat-mukjizat atau
karomah-karomah besar yang tidak mampu diciptakan oleh teknologi secanggih
apapun. Karena Allah bersama mereka, sama halnya dengan Nabi Musa.
Al-Qur’an penuh dengan cerita
mukjizat para Nabi dan Rasul. Bahkan Al-Qur’an itu semuanya mukjizat. Allahummar
hamna bil Qur’an….
Sumber : eramuslim.com